Telah
kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual
seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk
memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak
keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa
ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk
dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat
kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai
ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.
Acara
ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan
(terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus
berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan
kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut
diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang
berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Tidak
lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali
acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu
variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada
dasarnya menu hidangan “lebih dari sekedarnya” cenderung mirip menu
hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta
kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.
Entah
telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa
disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak
menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan
akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara
tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: “wajib”)
untuk dikerjakan dan sebaliknya, bid’ah (hal yang baru dan ajaib)
apabila ditinggalkan.
Para
pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang
mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar
berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki
pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Qur’an dan As
Sunnah.
Sebenarnya
acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di
kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan
kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan
Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh
setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu
wata’ala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wata’ala telah
berfirman (artinya):
“Maka
jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian
benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih
utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59)
sumber : http://qurandansunnah.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar